Translate

Jumat, 25 November 2011

Pencipta Hymne Guru, Mr.Sartono



Mengikuti sayembara mencipta himne guru dari secarik koran di bis. Selama 24 tahun tetap setia menjadi guru honorer di SMP swasta. Penghargannya kebanyakan piagam saja.
  • Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
  • Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
  • Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
  • Sbagai prasasti trimakasihku tuk pengabdianmu
  • Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
  • Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
  • Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa
Siapa yang tak kenal lagu ini lirik himne guru berjudul Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, ini sangat sering terdengar di telinga kita. Masih terngiang betapa di era 1980-an, lagu ini sangat sering dinyanyikan di sekolah-sekolah. Sebab setiap upacara bendera pada hari Senin, lagu ini selalu dinyanyikan.
Istilah “pahlawan tanpa tanda jasa” bahkan kemudian menjadi ikon yang disematkan kepada para guru. Siapa sangka bila “sang pahlawan” yang tanpa tanda jasa itu sejatinya dialami si pencipta lagu tersebut. Ya, Sartono, pencipta lagu yang juga guru itu di masa senjanya hidup dalam kesederhanaan. Laki- laki asal Madiun yang genap berusia 72 tahun, 29 Mei ini, tinggal rumah sederhana di Jalan Halmahera 98, Madiun.
Sejak ia mengajar musik di SMP Purna Karya Bhakti Madiun pada 1978, hingga “pensiun” pada 2002 lalu, Sartono tetap menyandang guru honorer. Ia tak punya gaji pensiunan, karena statusnya bukan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kawan-kawan sesama guru sempat membantu mengajukan dia menjadi PNS. “Katanya sih sering diajukan nama saya, tetapi sampai saya pensiun dari tugas sebagai guru, PNS untuk saya kok tidak datang juga,” kata Sartono.
Sartono memang minder dengan latar belakang pendidikannya yang tak tamat SMA. Ia mengajar di SMP Purna Karya Bhakti, yang belakangan lebih dikenal sebagai SMP Kristen Santo Bernadus, berbekal bakatnya di bidang musik. Sartono yang beragama Islam itu melamar di Santo Bernadus berbekal sertifikat pengalaman kerja di Lokananta, perusahan pembuat piringan hitam di Solo, Jawa Tengah.
Hidup serba dalam kesempitan, tak membuat Sartono meratapi nasib. Ia merasa terhibur, dengan kebersamaan dengan Damiyati, BA, 59 tahun, isterinya yang guru PNS. Damiyati dinikahi Sartono pada 1971. Dari pernikahan mereka belum jua dikaruniai anak. Sehingga mereka mengasuh dua orang keponakan. Damiyati yang juga guru, juga seniman biasa manggung bersama Ketoprak Siswo Budoyo Tulungagung, di masa mudanya.
Kehidupan sehari-harinya kini hanya dari pensiun istrinya yang tak lebih dari dari Rp 1 juta. Sartono sendiri kala masih aktif mengajar, gajinya pada akhir pengabdiannya sebagai guru seni musik cuma Rp 60.000 per bulan. “Gaji saya sangat rendah, bahkan mungkin paling rendah diantara guru-guru lainnya,” katanya mengenang masa lalunya.
Kala masih kuat, Sartono menambal periuk dapurnya dengan mengajar musik. Sepekan sekali, Sartono yang pandai bermain piano, gitar, dan saksofon, ini rutin mengajar kulintang di Perhutani Nganjuk, sekira 60 kilometer dari rumahnya di Madiun.
BERMULA DARI LOKANANTA
Jalan menjadi guru berawal dari kegemarannya bermain musik. Putra sulung dari lima bersaudara ini sebenarnya lahir dari keluarga cukup berada. Maklum, ayahnya R. Soepadi adalah Camat Lorog, Pacitan. Sartono kecil memang suka bermain musik secara otodidak. Namun, hidup nyaman tak bisa dirasakan berlama-lama. Ketika ia berusia 7 tahun, Jepang menduduki Indonesia. Ayahnya pun tak lagi menjabat camat.
Sartono, bersama empat adiknya, Sartini, Sartinah, Sarwono dan Sarsanti, tak bisa mengenyam pendidikan tinggi. Ia sendiri putus sekolah kala kelas dua di SMA Negeri 3 Surabaya.
Ia kemudian bekerja di Lokananta, perusahaan rekaman dan produsen piringan hitam. “Saya Lupa tahun berapa itu, tapi saya hanya bekerja selama dua tahun saja,” kata Sartono, yang mengaku sudah susah mengingat tahun.
Selepas kerja di Lokananta, Sartono bergabung dengan grup musik keroncong milik TNI AU di Madiun. Ia bersama kelompok musik tentara itu pernah penghibur tentara di Irian. “Di sana selama tiga bulan,” jelasnya.
DARI SECARIK KORAN
Ihwal penciptaan lagu himne guru itu boleh dibilang tak sengaja. Ketika itu, tahun 1980, Sartono tengah naik bis menuju Perhutani Nganjuk, untuk mengajar kulintang. Di perjalanan, secara tidak sengaja ia membaca di secarik koran, mengenai sayembara penciptaan lagu himne guru yang diselenggarakan Depdiknas. Hadiahnya besar untuk saat itu, Rp 750.000. Waktu yang tersisa dua pekan, untuk merampungkan lagu.
Sartono yang tak bisa membaca not balok ini, mulai tenggelam dalam kerja keras mengarang lagu saban harinya. “Saya mencermati betul seperti apa sebenarnya guru itu,” jelas Sartono sambil memulai membuat lagu itu.
Waktu sudah mepet, lagu belum juga jadi. Sartono pusing bukan kepalang. Syairnya masih amburadul. Pada hari pertama Hari Raya Idul Fitri, Sartono tidak keluar rumah. Ia bahkan tak turut beranjang sana mengantar istri dan dua keponakannya silaturrahmi ke orangtua dan sanak famili. “Saat itu kesempatan bagi saya untuk membuat lagu dan syair secara serius,” katanya. “Waktu itu saya merasa begitu lancar membuat lagu dan menulis syairnya.”
Awalnya, lirik yang ia ciptakan kepanjangan. Padahal, durasi lagu tak lebih dari empat menit. Sartono pun berkali- kali mengkajinya untuk mengetahui mana yang harus dibuang. “Karena panjang sekali, maka saya harus membuang beberapa syairnya,” jelas Sartono. Hingga muncullah istilah “pahlawan tanpa tanda jasa.”
“Guru itu juga pahlawan. Tetapi selepas mereka berbakti tak satu pun ada tanda jasa menempel pada mereka, seperti yang ada pada polisi atau tentara,” katanya.
Persoalan tak begitu saja beres. Lagu ada, Sartono kebingungan mengirimnya ke panitia lomba di Jakarta. Sebab ia tidak punya uang untuk biaya pengiriman via pos. “Akhirnya saya menjual jas untuk biaya pos,” katanya.
Sartono menang. “Hadiahnya berupa cek. Sesampainya di Madiun saya tukarkan dengan sepeda motor di salah satu dealer,” kata Sartono.
PENGHARGAAN MINIM
Lagunya melambung, Sartono tidak. Sang pencipta tetap saja menggeluti dunia mengajar sebagai guru honorer hingga “pensiun.” Kalaulah ada penghargaan selain hadiah mencipta lagu, “cuma” beberapa lembar piagam ucapan terimakasih. Nampak piagam berpigura dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo yang diberikan pada 2005. Pak Gubernur juga memberikan bantuan Rp 600.000, plus sebuah keyboard.
Piagam lainnya diberikan Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin pada 2000. Kemudian piagam dari Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo pada 2005, plus bantuan uang. “Isinya enam ratus ribu rupiah,” kata Sartono.
Tahun 2006 lalu, giliran Walikota Madiun yang dalam sepanjang sejarah baru kali ini memberikan perhatian kepadanya. “Pak Walikota menghadiahi saya sepeda motor Garuda,” kata Sartono seraya menunjuk sepeda motor pemberian Walikota Madiun.
Meski minim perhatian, Sartono tetaplah bangga, lagunya menjadi himne para guru. Pekerjaan yang dilakoninya selama 24 tahun. Pengabdian yang tak pendek bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa.

----------------------
BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA YANG MENGHARGAI PARA PAHLAWANNYA..!!


Lirik Lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
S’bagai prasasti trima kasihku tuk pengabdianmu

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa

Rabu, 02 November 2011

Lov adek2 kelompok..................

Tau tidak kenapa terkadang orangtua merasa beda saat tau anaknya mau menikah, bahkan ada yang akhirnya memilih untuk membenci calon menantunya, dengan berbagai alasan keburukan tentang si calon. Apa yang dilakukan calon menantu, semua serba salah..
Benarkah demikian?
Saya memberi pendapat disini, bukan karna saya sudah menjadi orangtua ataupun calon menantu seorang mertua yang tidak menyukaiku. Saya seorang gadis yg masih belom punya pacar.. tapi saat ini aku bisa merasakan seperti yang dirasakan orangtua ketika mendengar anaknya lagi menyukai seseorang. J
Emang benar loh, ada rasa sedih saat anak yang kita sayangi cerita klo dia da menyukai seseorang. Bukan karna orang yang disukai tidak seperti yang diharapkan, tapi takut kehilangan perhatian dan kepercayaan dari anaknya *seperti orang banyak duga*. Dan ga jarang orang berkata, orangtua terlalu egois bila tidak mengikhlaskan anaknya untuk menikah. Ternyata bukan egois!! Karna dibalik kesedihan mereka, ada rasa suka yang luar biasa saat tau anaknya akan segera menikah dengan calon pilihannya. So kenapa harus ada kata sulit untuk melepaskan anak menikah?
Alasan kenapa orangtua tidak menyukai pasangan
Dari yang kurasakan jawabannya adalah:
* anak akan lebih fokus memperhatikan pasangannya, walaupun berjuta orang akan membantah hal itu. Tapi tau tidak, sadar tidak sadar, itu pasti.. dan orang akan jawab ‘wajar dong memperhatikan pasangannya’. Tau tidak, justru jawaban ini akan semakin menyedihkan orangtua.
* anak akan lebih banyak curhat kepada pasangannya tentang perjalanan hidupnya. Bahkan orang akan berkata >>termasuk saya<< “saya tidak suka menambah beban pikiran orangtua saya tentang masalah hidupku”. Tidak menyadari bahwa orangtua tidak pernah merasa terbeban dengan sejuta masalah kita yang kita curhatkan ke mereka. Justru mereka senang bisa mengikuti perjalanan hidup kita, dan melihat kita bisa melewati masa2 sulit yang sedang kita hadapi.
* waktu  menghubungi atau kebersamaan dengan orangtua akan semakin berkurang, walaupun mungkin perbandingannya hanya beda tipis. Tapi tetap aja akan ‘berkurang’. Apakah anda akan bantah lagi: “wajarlah, karna pasangan kita juga butuh dihubungi/diperhatikan lebih. Dan semua memang sudah hukum alam. Tapi tetap saja saya  100% sayang ortu, 100% sayang pasangan” APA iya yah???  
*bila sianak lagi sibuk/lupa tau mungkin karna penghematan pulsa maka dia ga menghubungi orangtua dalam 1 atau 2 hari bahkan lebih, tapi anak ga akan meleawti 1 hari tanpa menyapa atau memberi kabar pasangannya. “met pagi beb” “jangan lupa makan siang” “hav a nice drim” or apalah…. Tapi terhadap orangtua? “terlalu banyak kita tanamkan dalam hati bahwa orangtua akan mengerti keadaan kita.
~~rasanya airmataku pengen jatuh saat menulis ini~~
*saat orangtua sakit, seberapa kuatir kita bila dibandingkan saat mendengar pacar kita lagi sakit atau ‘beb, tadi aku terpeleset’ holaalaa……….
*bila orangtua menelpon, ga ada rasa berbunga2 dihati atau merasa dispesialkan, bahkan merasa hari ini hari keberuntungan karna ‘mama/papaku nelpon’. Coba klo pasangan kita yang nelpon,, yang tadinya ngantuk pasti langsung segar (ibarat)
Sikap kita yang menduakan orangtua sejak kita punya pasangan, itu yang membuat mereka sedih!  Bukan karna pasangan kita buruk..
Mungkin kamu tidak menyadari perubahanmu, tapi dia adalah orangtua kita. Yang mengikuti setiap detik perkembangan kita. Dia lah yang paling tau bila kita sudah berubah..

Hal-hal yang perlu dilakukan untuk bisa meyakinkan orangtua dan bisa menerima pasangan kita:
* ceritalah semua hal tentang siapa pasanganmu kepada orangtua
* bila dulu min 1x seminggu kamu menghub orangtua, sejak kamu punya pasangan tambahi kuantitas kamu menghub orangtua
* yang tadinya kamu ga pernah sms “selamat malam mama/papa” atau hal lainnya mulai lah ngesms mereka dari sekarang. Bila perlu, ketika kamu mau makan, sempatkanlah untuk nelpon mereka nanya sudah makan atau belom.
* bila telponan ma ortu, seperlunya aja cerita tentang pasanganmu. Jangan pula sepanjang telponan kamu hanya cerita tentang pasanganmu. **beri waktu untuk orangtua kita curhat tentang perjalanan hidupnya**
* beli lah sesuatu kesenangan orangtua, semampu kita <dana mdukung>. Untuk pasangan semua diusahakan, untuk ortu??? *jangan mpe tidak mau tau atau selalu menganggap ortu mengerti*
* jangan sampe melupakan hari2 terpenting dalam hidupnya….. ++bisa kacau++
* ajari pasanganmu untuk sekali2 menghub dan memperhatikan orangtuamu.

Hahahaha……………
Serasa saya sudah menjadi orangtua sekarang!!
Yupps… ini tentang aku dan adik2 rohaniku, merasa kehilangan karna mereka sudah jauh dan mulai bercerita tentang cinta mereka..........